Cinta dan Peduli Pada Masa Depan Indonesia

24 July 2018

Cinta dan peduli pada masa depan Indonesia. Dua alasan itu yang membuat sembilan guru besar diaspora Amerika Serikat rela menempuh jarak hingga 18.205 kilometer untuk memberikan pelatihan kepada 50 guru dari SMA YPPK Adhi Luhur, Nabire, dan SMA Negeri 3, Jayapura, Papua.

Mereka memanfaatkan waktu cuti hingga belasan hari untuk datang ke Papua. Tidak hanya itu. Mereka juga datang ke Papua dengan biaya dari mereka sendiri. Semua demi masa depan anak-anak Papua yang lebih baik.

”Guru harus membuat variasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, misalnya kegiatan bercocok tanam dan beternak. Ini bisa memberikan tambahan ilmu pengetahuan bagi siswa,” kata Guru Besar Teknik Mesin dari SUNY New Paltz, AS, Rachmadian Wulandana, Selasa (10/7/2018), saat mengajak para guru berdiskusi terkait materi Kelas Ekstrakurikuler dan Program Aktivitas Siswa selama 90 menit.

Pada saat Rachmadian berbicara, rekan-rekannya memberikan bimbingan kepada para guru. Guru besar asal Yogyakarta itu menekankan kepada guru bahwa kegiatan ekstrakurikuler tidak hanya didominasi dengan kegiatan olahraga atau kelompok belajar demi mengikuti olimpiade di sejumlah mata pelajaran.

Rachmadian dan kedelapan rekannya yang datang ke Papua termasuk anggota Indonesian American Society of Academics (IASA). Mereka merupakan diaspora Indonesia yang telah bermukim di AS selama puluhan tahun.

Kesembilan guru besar anggota IASA yang hadir di Papua itu adalah Herry Utomo (ahli bioteknologi dan genomik di Louisiana State University, Baton Rouge), Ida Wenefrida (ahli bioteknologi di Louisiana State University, Baton Rouge), Arief Setiawan (arsitektur di Kennesaw State University), Jeff Budiman (teknik arsitek dan sipil di Illinois Institute of Technology, Chicago), dan Rachmadian Wulandana (teknik mesin di SUNY New Paltz).

Selain itu, Taifo Mahmud (ahli ilmu farmasi di Oregon State University, Corvallis), Butje Eddy Patuwo (teknis industry di Kent State University, Ohio), Hans Dulimarta (ahli ilmu komputer di Grand Valley State University, Grand Rapids), serta Justinus Satrio (ahli biomassa dan teknik berkelanjutan di Villanova University, Pennsylvania).

IASA baru pertama kali menerapkan sistem pembelajaran ini bagi guru SMA. Ini merupakan terobosan baru bagi dunia pendidikan di Papua.

Mereka memberikan pelatihan gratis bagi guru pada 9-13 Juli. Materi yang dibawakan antara lain metode pengajaran multidisiplin platform digital dan nondigital, implementasi Kurikulum 2013 mencakup kemampuan belajar mendalam untuk sintesis, evaluasi, dan pemecahan masalah, pola pendidikan di sekolah asrama, serta program aktivitas dan ekstrakurikuler.

Pada hari terakhir, Hans Dulimarta membawakan materi sistem pembelajaran berbasis teknologi dengan komputer tablet. Hans yang menggunakan layar proyektor menunjukkan cara memasukkan materi pembelajaran setiap jenjang kelas ke dalam aplikasi bernama Moodle. Ia memodifikasi Moodle dari sistem website sehingga dapat diaplikasikan ke tablet. Guru dan siswa yang berperan sebagai pengguna tinggal memasukkan nama dan kata kunci untuk mengaktifkan akunnya di Moodle.

Aplikasi Moodle dapat memuat segala materi pelajaran dalam bentuk teks, foto, dan video serta tugas bagi siswa. Dengan aplikasi ini, siswa lebih aktif dan bersemangat mempelajari materi yang diberikan guru.

”IASA baru pertama kali menerapkan sistem pembelajaran ini bagi guru SMA. Ini merupakan terobosan baru bagi dunia pendidikan di Papua,” ungkap Hans.

Kepala Sekolah YPPK Adhi Luhur Nabire Pastor Christoporus Aria Prabantara mengatakan sangat berterima kasih karena pihaknya bisa mendapat ilmu baru dari para profesor IASA.

”Mudah-mudahan materi ini dapat diterapkan para guru sehingga efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Papua,” ujarnya.

Rasa prihatin

Perjalanan dari AS ke Jayapura tentu membutuhkan biaya besar hingga ribuan dollar AS dan waktu perjalanan yang lama. Presiden IASA Herry Utomo dan istrinya, Ida Wenefrida, sudah mengunjungi Papua sebanyak 10 kali sejak tahun 2016. Keduanya mengunjungi beberapa perguruan tinggi di sejumlah kabupaten di Papua dan Papua Barat, seperti Sorong, Manokwari, Merauke, dan Jayapura. Adapun tujuh guru besar yang lain ada yang sudah dua kali bahkan ada yang baru pertama kali ke Papua.

Biaya pesawat yang dikeluarkan untuk sekali perjalanan bisa mencapai 2.000 dollar AS pada musim panas. Sementara waktu yang dicurahkan untuk berkunjung ke Papua biasanya sampai dua pekan untuk satu kali kunjungan.

Bagi seorang profesor, waktu mengajar sangatlah penting. Namun, kami merasa terpanggil setelah melihat kondisi pendidikan di Papua dan Papua Barat.

Dalam setiap kunjungan, mereka menemukan fakta bahwa kualitas mahasiswa belum mencapai level standar seperti mahasiswa pada umumnya. Pemahaman materi banyak yang masih lemah, bahkan kemampuan baca dan tulis masih jauh dari sempurna.

Kisah Asal Mula Kota Salatiga

Dongeng Nusantara : 3 Maret 2019 Kisah Asal Mula nama Kota Salatiga, Jawa Tengah, berhubungan erat dengan Ki Ageng Pandanaran yang merupakan Bupati

Capacity Building CGP Angkatan 8 Kabupaten Kuningan: Masalah Membuat Kita Tumbuh dengan Dewasa

Bandung (23/10), Calon Guru Penggerak (CGP) Angkatan 8 Kabupaten Kuningan besama Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan melakukan capacity building dalam bentuk

Kemitraan dengan Disdik Kabupaten Berau untuk Peningkatan Kompetensi Kepala Laboratorium IPA

BBGP Jawa Barat telah menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Berau untuk melaksanakan Diklat Peningkatan Kompetensi Kepala Laboratorium IPA Sekolah

Lapor Beri Kami Penilaian WhatsApp