Pola Asuh Anak

18 February 2018

POLA ASUH ANAK

Oleh: Alia Bahtiar*)

Anak adalah amanah. Dalam kitab suci dan ajaran apapun selalu ada keutamaan dalam mendidik anak. Setiap orang tua punya trik tersendiri dalam mendidik anak. Tujuan masing-masing orang tua pun berbeda dengan orang tua lainnya. Sehingga bisa jadi pencapaian yang telah didapat oleh orang tua yang satu belum tentu akan sama menurut ukuran orang tua lainnya. Banyak hal yang memengaruhi dalam mendidik anak. Misalnya latar belakang pendidikan sampai masa lalu orang tua itu sendiri. Pada dasarnya, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya terjerumus ke dalam hal-hal negatif. Namun, terlepas dari itu, tak sedikit anak yang berbuat negatif karena pengaruh didikan orang tuanya. Pola asuh yang berbeda membuat anak yang satu tumbuh berbeda dengan anak yang lain. Ada beberapa tipe pengandaian untuk setiap pola pengasuhan sesuai tipe anak.

1. Anak Bola Besi

Kata besi memiliki konotasi ‘keras’. Dalam hal ini, anak cenderung dibesarkan dengan berbagai kekerasan, baik itu kekerasan verbal maupun psikis. Kata-kata yang tidak sepatutnya diperuntukkan untuk anak menjadi santapan sehari-harinya. Luka kian menyayat, menjadikan hati anak sedikit demi sedikit tergerus dan pada akhirnya akan membeku. Setiap cemoohan terlontar menjadikan perasaan anak tak lagi peka terhadap bahasa verbal yang lembut. Semua menjadi serba keras. Cubitan, cambukan dan paksaan menjadi santapannya. Hal ini juga yang akan semakin mengerdilkan perasaan anak. Tumbuh menjadi sosok besi bisa jadi adalah pilihannya. Bukan itu saja, dengan pola asuh seperti ini, anak akan tumbuh menjadi sosok yang suka melawan dan cenderung tidak akan peduli pada perasaan orang lain. Anak menganggap semua perasaan orang sama, hingga tidak ada lagi empati dalam kesehariannya. Yang ada hanya mengedepankan perasaan dan egonya. Bisa dibayangkan akan menjadi sosok dewasa seperti apa kelak anak ini?. Saat anak ini ‘jatuh’, maka ia akan menjadi sosok paling menyeramkan. Ia tak dapat memikirkan jalan keluar yang bersahabat, ia hanya dapat menyuguhkan penyelesaian yang penuh dengan kekerasan tanpa rasa empati sedikit pun.

2. Anak Bola Kaca

Anak ini dibesarkan dengan segala kemudahan. Suguhan “kasih sayang” senantiasa terhidang di depan matanya. Saat ingin makan, semua telah tersedia di hadapannya, sesuai dengan seleranya tentunya. Menginginkan segala hal selalu mudah baginya. Ada orang disekeliling yang sigap membantunya. Bahkan, bila tidak ada orang yang meladeni, orang tua siap melayani 24 jam. Dalih ‘sayang’ selalu menjadi kata-kata pamungkas bagi orang tua yang memilih untuk mendidik anaknya seperti ini. “Cukuplah saya saja yang merasakannya, anakku tidak usah merasakan apa yang kurasa dulu.” Potensi yang dimiliki anak itu pasti ada, baik untuk melayani dirinya maupun keterampilan hidup yang lain. Cara mendidik yang salah lah yang kadang melumpuhkannya. Sehingga, berbagai kemudahan yang diberi, secara tidak sadar telah menenggelamkan berbagai keterampilan hidup yang sudah ada pada anak. Bahkan untuk mengambil air putih saja harus diladeni. Karena otot tangan jarang digunakan, akan menjadikan tangan tersebut akan lemah dan imbasnya pada keterampilan anak memegang pensil sebagai dasar dalam pendidikan. Selain jiwa, raga pun ikut hanyut dalam lautan kerapuhan. Konsep diri yang dimiliki oleh anak akhirnya menjadi tidak utuh. Tempat bersandar yang aman dan nyaman selalu menjadi tamengnya. Tak ada yang sulit di dunia ini selama ada orang tua. Seumpama kaca, anak akan pecah berkeping-keping saat terjatuh, Tak ada keterampilan untuk menangkis segala bahaya, jiwa yang rapuh untuk menerima kesalahan dan kegagalan, raga yang menciut saat harus menghadapi hal yang menantang.

3. Anak Bola Karet
Anak ini dibiarkan tumbuh dengan segala realita kehidupan. Baik buruknya, susah senangnya, suka dukanya. Semua disajikan dengan cara positif. Kepercayaan penuh diberikan karena orang tua yakin bahwa setiap anak mempunyai kemampuannya masing-masing, Kejelian orang tua lah yang menjadi tolok ukurnya. Tantangan dan kesulitan sengaja disuguhkan secara bertahap. Kemampuan anak akan terasah saat dihadapkan sebuah tantangan. Keberanian akan memancar dari jiwa anak. Kenapa secara bertahap? Anak diharapkan mampu menanggulangi masalahnya dengan cara yang elegan, sekaligus memberikan pembelajaran bahwa melihat persoalan itu harus bertahap dan pemecahannya pun membutuhkan strategi. Hal yang perlu dipupuk adalah bagaimana anak tetap mampu berjuang menghadapi masalah dan kesulitannya, bukan berbalik badan dan lari dari masalah. Kepercayaan diri anak ini tumbuh dengan baik, karena didikannya penuh dengan bimbingan dan contoh. Teladan yang diberikan oleh orang tua, meski belum sempurna tetapi sudah mendekati ideal.

Anak dididik tidak hanya untuk percaya pada dirinya sendiri tetapi juga percaya pada orang lain. Saat keduanya telah bersinergi, hal yang tak kalah pentingnya adalah percaya pada sang Pencipta. Bukan dongeng khayalan yang diberikan agar anak percaya pada Tuhan, tetapi aksi nyata orang tua lah yang menguatkannya. Sebagai muslim, mengerjakan sholat 5 waktu dengan mengajak anak dan meberikan kepercayaan kepada anak untuk memimpin sholat juga merupakan salah satu hal yang bisa lebih mendekatkannya dengan sang Pencipta. Agama lain pun demikian. Mengajak beribadah adalah salah satu motivasinya. Hingga akhirnya anak akan berpikir agamais secara utuh. Orang tua akan menjadi pendengar yang baik saat anak mengeluh dan menyemangati saat berpeluh. Semua diakomodasi dengan kata-kata positif. Jiwa yang selalu mendapat asupan positif akan melahirkan batin dan raga yang kuat. Lihatlah saat anak ini “jatuh”. Jangan menunggu pecah atau penyoknya, tetapi lihatlah pantulannya yang mengangkasa. Baginya dunia itu seni. Semua akan indah bila kita menggunakan kaca mata seni.

So, which one do choose?
Pilihannya ada pada anda…

Mengembangkan Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus dalam Belajar (bagian 1)

Dalam mendidik anak dengan berkebutuhan khusus, guru perlu memperhatikan bagaimana mengembangkan kemandirian anak dalam belajar dan memperoleh pengalaman baru. Berikut

Lapor Beri Kami Penilaian WhatsApp